Fenomena Mahasiswa Setelah Ujian Akhir Semester

  • Bagikan
Suasana Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Halu Oleo, Kendari. Foto: Buyung.
Suasana Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Halu Oleo, Kendari. Foto: Buyung.

SULTRAINFORMASI.COM – Biasanya aktivitas kampus akan lihat lebih lengang setelah ujian akhir semester selesai. Pemandangan ruang kelas yang biasanya gaduh menjadi sunyi, bangku-bangku koridor sepi, atau kursi taman banyak yang menganggur.

Sesekali hanya terlihat staf fakultas lewat dan masuk ruangan. Beberapa mahasiswa tingkat akhir yang terhitung jari berkutat dengan urusan administrasi, mungkin untuk keperluan studi akhir mereka.

Pengalaman dan pemandangan ini yang pernah saya lihat di kampus almamater dulu saat studi lanjut di sana.

Dasmin Ekeng, S.I.Kom., M.A., Dosen Jurnalistik FISIP UHO. Foto: Istimewa.

Suasana itu berbanding terbalik dengan fenomena….saya menyebutkan mahasiswa “pemburu nilai”. Tipe mahasiswa seperti ini akan terlihat aktif masuk kampus ketika Ujian Akhir Semester telah usai. Wajah-wajah inilah kemudian sering dijumpai.

Kadang sesekali juga bertegur sapa “Kok baru muncul, ke mana saja selama ini,” lalu hanya dibalas dengan senyum mereka yang penuh pengharapan. Atau biasanya tampak dari jauh, ketika berpapasan dengan dosen mereka akan bersikap kaku dan gugup. Dan macam-macam ekspresi lainnya.

Jadi terbalik, bagi mereka waktu produktif masuk kampus justru setelah UAS selesai. Pintu dan ruang prodi disesaki dengan wajah mahasiswa yang tak pernah terlihat saat kuliah maupun ujian, pada saat itu mahasiswa-mahasiswa ini akhirnya muncul di kampus.

Selain memadati bangku koridor, atau ruang-ruang prodi yang sekedar mencari dosen, pesan-pesan “misterius” di WA pun dari mahasiswa memadati ponsel para dosen.

Juga, seperti telah jadi musiman tiap ujian akhir semester berakhir, ponselku dipenuhi dengan pesan tanpa nama kontak. Kontak tanpa nama ini bertengger memenuhi dinding WA dengan isi yang hampir seragam.

“Mohon arahannya pak” atau “mohon petunjuknya pak”. Dari sepuluh pesan yang masuk, delapan di antaranya pesan penutupnya kira-kira seperti itu.

Isi pesan ini merujuk pada permohonan mahasiswa kepada dosen pengampu mata kuliah kala meminta kebijakan atau perbaikan nilai akhir. Biasanya hampir semua dosen pengajar di prodi mengalami “teror” serupa. Di lain sisi “teror” semacam ini buat dosen justru bikin risih dan tidak nyaman.

Secara sunnatullah, tugas dasar mahasiswa adalah belajar. Nah turunannya, datang kuliah, mengisi absen, mengerjakan tugas dari dosen pengampu, melaksanakan ujian pada akhir pertemuan.

Hal-hal yang menjadi aturan teknis dalam proses perkuliahan diatur kontrak belajar antara mahasiswa dan dosen. Biasanya kontrak belajar ini digodok di awal pertemuan dan disepakati bersama sebelum proses perkuliahan dimulai.

Setelah kontrak belajar disepakati konsekuensi positif maupun negatif mulai berlaku. Yang mengikuti proses perkuliahan dengan seksama akan diganjar dengan konsekuensi positif dalam bentuk nilai yang sepadan, sebaliknya konsekuensi negatif juga berlaku bila ada hal yang terjadi di luar kesepakatan kontrak belajar tadi.

Nah fenomena mahasiswa “pemburu nilai” ini biasanya mereka banyak menabrak kontrak belajar yang sebenarnya sudah menjadi kesepakatan bersama di awal perkuliahan. Seharusnya, mahasiswa paham bahwa prinsip hak dan kewajiban tersebut telah berlaku di sini.

Ketika semua kewajiban ditunaikan secara utuh (mengerjakan tugas, UTS, dan UAS) maka sepatutnya mendapatkan haknya yakni nilai akhir ujian. Jangan menuntut dosen untuk memberikan nilai yang baik sesuai keinginan, tetapi sunatullahnya sebagai mahasiswa justru diabaikan.

Proses belajar itu ditempuh dengan usaha dan kerja keras bukan dengan cara pintas, apalagi dengan menuntut belas kasihan tanpa berbuat sepatutnya. Perlu juga dicatat untuk mahasiswa bahwa meminta sesuatu yang bukan haknya, meminta nilai yang bukan kerja kerasnya adalah bentuk kemerosotan mental yang harus segera ditinggalkan.

Bukan tanpa alasan, mental korup seperti ini akan jadi cerminan di masa depan nanti ketika masuk dan kembali di lingkungan masyarakat yang sebenarnya. Ada proses yang mereka lompati/abaikan sehingga akan berpengaruh pada pola sikap, pola tutur hingga pola tindak mereka kedepannya.

Oleh: Dasmin Ekeng, S.I.Kom., M.A., Dosen Jurnalistik FISIP UHO

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.